Harga batu bara semakin tertekan dan mendekati level terendah dalam tiga tahun terakhir, dengan harga batu bara acuan ICE Newcastle tercatat pada US$104,6 per ton pada Selasa (18/02).
Penurunan harga itu mengguncang pergerakan saham perusahaan batu bara yang terdaftar di bursa, membuat investor semakin beralih fokus pada potensi dividen yang bisa dibagikan oleh emiten.
Harga batu bara yang terus menurun dipengaruhi oleh dua faktor utama: oversupply dari produksi yang melimpah dan tekanan permintaan yang berkurang akibat perkembangan energi baru terbarukan (EBT).
Misalnya, sebagai produsen batu bara terbesar di dunia, China telah mengumumkan rencana peningkatan produksi batu bara sebesar 1,5% menjadi 4,82 miliar ton pada 2025, guna memenuhi permintaan domestik yang tinggi.
Selain itu, kebijakan Vietnam untuk beralih dari batu bara ke energi bersih juga semakin memperparah tren penurunan harga.
Sementara itu, pergerakan harga saham emiten batu bara juga tercatat menurun dalam beberapa bulan terakhir, meskipun ada sedikit pemulihan pada minggu terakhir. Salah satu faktor pemulihan ini datang dari persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap perubahan Undang-Undang Minerba pada Selasa (18/02).
Keputusan itu diperkirakan dapat mendorong perbaikan tata kelola sektor batu bara dan membuka peluang lebih besar bagi BUMN, BUMD, dan sektor usaha kecil dalam industri pertambangan.
Meskipun harga batu bara tertekan, beberapa perusahaan batu bara masih mencatatkan pertumbuhan laba yang positif. Emiten seperti PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) terlihat berpotensi untuk membagikan dividen meskipun dalam kondisi yang menantang.
Sementara itu, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) juga menunjukkan peluang dividen yang menarik bagi para investor yang mengharapkan imbal hasil dari saham energi fosil ini.
Demikian informasi seputar pergerakan harga batu bara. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di 8Detik.Com.