Bergairahnya investasi hulu migas (minyak dan gas) bumi diyakini dapat menjadi solusi utama terhadap masalah makroekonomi, terutama terkait fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menegaskan pentingnya komoditas energi yang rentan memicu kenaikan harga, karena sebagian besar produk migas Indonesia masih bergantung pada impor.
Dalam diskusi yang diadakan oleh Bisnis Indonesia, Komaidi menyebutkan, “Kuncinya investasi di migas untuk menyelesaikan masalah makro ekonomi.”
Menurut Kementerian ESDM, pada tahun 2023, terjadi perbedaan signifikan antara produksi dan impor minyak nasional. Produksi minyak Indonesia tercatat 221 juta barel, sementara impor mencapai 297 juta barel.
Impor tersebut menguras devisa negara hingga Rp396 triliun. “Jika investasi masuk, nilai tambah ekonomi dan multipliernya akan ikut meningkat,” tambah Komaidi.
Impor LPG juga menjadi sorotan, dengan angka mencapai 6 juta ton per tahun senilai US$3,45 miliar. Kementerian ESDM mencatat pengeluaran devisa untuk impor migas, termasuk LPG, mencapai Rp450 triliun per tahun. Komaidi mengingatkan, “Sekitar 80% migas masih bergantung pada impor, sehingga perlu perhatian serius.”
Di sisi lain, sekitar 37% dari investasi global di sektor hulu migas dialokasikan untuk Amerika Utara dan Selatan. Komaidi menilai, permasalahan utama yang menghambat investasi di Indonesia adalah payung hukum yang belum diperbaharui.
Data SKK Migas menunjukkan realisasi investasi hulu migas pada semester I/2024 mencapai US$5,6 miliar, dengan target tahun ini ditetapkan US$17,7 miliar.
Sayangnya, revisi UU Migas yang diamanatkan sejak 2008 belum juga terlaksana. Jaminan hukum yang kuat sangat diperlukan untuk mendorong investasi hulu migas, yang terkendala oleh banyaknya izin yang harus diselesaikan.
Demikian informasi seputar investasi hulu migas. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di 8Detik.Com.