Gunung Agung mengalami erupsi dan melontarkan batu pijar yang berasal dari dalam kawah gunung. Letusan Gunung Agung terjadi sejak Senin Selasa 2 Juli 2018 hingga Rabu pagi 4 Juli 2018. Erupsi tersebut bersifat eksplosif dan magma yang keluar lebih cair dibandingkan dengan letusan yang terjadi pada tahun lalu.
Strombilian sendiri merupakan semburan dari lava pijar magma yang dangkal. Semburan tersebut pada umumnya berasal dari gunung berapi yang masih aktif yang berlokasi di tepi maupun di tengah benua.
Hingga kini erupsi dari Gunung Agung hanya dianggap sebagai bencana bagi masyarakat Bali, khusunya di sektor pariwisata. Seperti yang kita ketahui bahwa sektor pariwisata merupakan tulang punggung perekonomian di Bali.
Padahal jika melihat lebih luas, erupsi Gunung Agung memiliki nilai-nilai positif yang dapat diambil. Hal ini yang kemudian membuat Sanggar Seni Semara Wijaya membuat tembang girang dengan judul “Labuh Sekar Ing Tohlangkir”.
Tembang tersebut mengingatkan masyarakat untuk tidak hanya melihat sisi negatif saja dari letusan Gunung Agung. Beberapa dampak positif yang didapat adalah tanah di sekitar Gunung Agung menjadi lebih subur. Selain itu, dengan kondisi masyarakat di pengungsian maka dapat menikat lebih erat tali persaudaraan.
Tembang Lubuh Sekar Ing Tohlangkir terinspirasi dari erupsi Gunung Agung di tahun 2017 lalu. Saat itu masyarakat yang beradad di Karangasem mengungsi. Dari situlah kemudian dijadikan latar percakapan dalam tembang girang. Percakapan tersebut membahas dampak dari letusan Gunung Agung dan dilakukan oleh sekumpulan remaja yang ada dipengungsian.
Selain itu, material dari erupsi Gunung Agung juga nantinya akan dinikmati oleh anak cucu di masa datang. Tembang tersebut juga berisi ajakan untuk membangkitkan semangat dari para pengungsi agar tidak terlalu bersedih dan harus sabar untuk menjalani hidup.